Di sebuah negeri yang gemar menimbang iman dengan meteran penjahit, tekstil telah menjelma menjadi kitab suci baru. Bukan lagi wahyu atau niat hati yang menentukan keselamatan, melainkan panjang jenggot, keluasan jubah, dan ketinggian ujung celana. Di sini, jenggot yang lebat adalah paspor menuju surga, kumis yang lenyap adalah tanda taubat, dan celana yang melayang di atas mata kaki adalah deklarasi kemurnian. Inilah zaman ketika mesin jahit menggantikan takhta Tuhan, dan gunting tukang cukur menjadi pedang penghakiman.
Mari kita mulai dengan jenggot, mahkota wajah yang konon menjadi barometer ketuhanan. Di negeri ini, jenggot bukan sekadar rambut wajah; ia adalah pernyataan politik, teologi, dan estetika sekaligus. Semakin lebat, semakin dekat seseorang dengan ilahi—at least, begitulah logika yang dijajakan. Tak peduli jika jenggot itu menyimpan sisa nasi kemarin atau menjadi sarang semute; yang penting, ia harus rimbun bagai hutan Amazon. Mereka yang berjenggot tipis atau—astaga—mencukur habis jenggotnya, langsung dicap sebagai agen liberalisme, antek Barat, atau, lebih buruk lagi, “kurang iman.” Tak ada ruang untuk alasan praktis seperti alergi kulit atau sekadar ingin wajah terlihat lebih muda. Jenggot adalah dogma, dan dogma tak boleh ditawar.
Lalu, kumis—bagian yang selalu jadi anak tiri dalam narasi kesucian. Kumis, entah kenapa, dianggap sebagai simbol duniawi yang penuh dosa. Mungkin karena kumis identik dengan para penutur puisi bohemian atau penutup wajah para penutup botol wiski di film-film koboi. Maka, di negeri ini, kumis harus lenyap. Dicukur habis hingga wajah tampak polos seperti bayi—atau setidaknya, seperti bayi yang berusaha keras tampil suci.
Namun, puncak dari teater tekstil ini adalah celana yang berakhir di atas mata kaki. Ini bukan sekadar pilihan mode, tetapi deklarasi perang terhadap modernitas. Celana yang pendek, yang melayang-layang di antara betis dan pergelangan kaki, adalah simbol pemberontakan terhadap segala yang dianggap “kafir”—termasuk, tampaknya, kenyamanan berjalan tanpa takut celana tersangkut di ranting.
Logikanya sederhana: celana panjang yang menyentuh tanah adalah kesombongan, dan kesombongan adalah tiket ekspres ke neraka. Maka, celana harus dipotong, dipendekkan, hingga menyerupai celana pendiam yang takut jatuh ke dalam dosa. Tak peduli jika pemakainya harus menghadapi ejekan anak-anak sekolah atau tatapan bingung dari rekan kerja; yang penting, mata kaki harus terekspos, seolah-olah Tuhan sedang menghitung jumlah rambut di pergelangan kaki untuk menentukan nasib akhirat.
Di balik semua ini, ada hasrat yang lebih besar: hasrat untuk mengakuisisi Tuhan. Dengan mengatur panjang jenggot, membersihkan kumis, dan memotong celana, manusia berusaha menjadikan Tuhan sebagai milik pribadi, yang bisa dikontrol melalui ritual tekstil. Ini bukan lagi soal ketaatan, tetapi soal monopoli. Mereka yang mematuhi aturan tekstil ini merasa telah membeli saham mayoritas di surga, sementara yang lain—yang berani memakai celana panjang atau membiarkan kumis tumbuh—dihukum sebagai investor gagal dalam pasar akhirat. Tuhan, dalam imajinasi mereka, telah direduksi menjadi auditor mode yang membawa meteran dan gunting, siap mencoret nama-nama yang gagal lulus uji jahit.
Namun, di tengah hiruk-pikuk ini, ada satu pertanyaan yang menggantung: jika Tuhan begitu peduli pada panjang celana dan lebatnya jenggot, mengapa Ia menciptakan manusia dengan akal budi? Mengapa Ia memberikan kebebasan untuk memilih, hanya untuk kemudian menghukum mereka yang memilih berbeda? Mungkin, dalam diam-Nya, Tuhan sedang tersenyum kecil, menggelengkan kepala melihat manusia yang begitu sibuk menjahit jubah kesucian, padahal Ia hanya meminta hati yang tulus dan perbuatan yang baik.
Tapi, di negeri ini, hati dan perbuatan adalah barang sekunder. Yang utama adalah etalase—etalase vonis kesesatan yang terpampang di jenggot, kumis, dan ujung celana. Dan di etalase itu, manusia sibuk memamerkan tekstil mereka, berharap Tuhan akan terkesima oleh jahitan mereka yang rapi.
Sayangnya, Tuhan bukan penutur mode. Dan surga, barangkali, tak pernah punya dress code.
Jenggot Dibiarkan Lebat, Kumis Dicukur Habis, dan Batas Celana di Atas Mata Kaki adalah Etalase Vonis Kesesatan.