Dalam sebuah negeri yang mengaku beradab, seorang wakil rakyat tersenyum lebar di depan kamera. Dengan nada bangga, ia mengumbar niatnya untuk “merampok uang negara dan membuat negeri ini miskin.” Video itu bukan rekayasa Hollywood, melainkan rekaman otentik dari pelaku itu sendiri. Dan alibinya? “Saya sedang mabuk.”
Sungguh, kita telah memasuki zaman keemasan kemunafikan, di mana mabuk bukan lagi noda, melainkan perisai yang nyaman untuk menutupi kebenaran. Dalam absurditas yang kini menjadi keseharian, seorang politikus tak perlu lagi mempertanggungjawabkan ucapannya. Kebenaran—yang secara tak sengaja terlepas dari lorong gelap kesadarannya—dengan mudah dicap sebagai “omong kosong orang mabuk.” Ini adalah masterclass dalam seni menghindar dari tanggung jawab.
Adegan berikutnya adalah sandiwara tragikomedi yang berulang: sang legislator tampil dengan wajah penuh penyesalan, memohon maaf karena “kehilangan kendali.” Ironisnya, justru dalam keadaan tak sadar itulah ia paling jujur. Saat sadar, kata-katanya dibalut jargon muluk seperti “pembangunan berkelanjutan” atau “pemberantasan korupsi,” diucapkan dengan ekspresi lurus tanpa sehelai keraguan pun.
Politik kita telah menjadi teater absurd, di mana para aktor tak lagi repot menyembunyikan niat asli mereka. Cukup ungkapkan secara terbuka, lalu gunakan kemabukan sebagai kartu bebas penjara. Inilah sistem yang begitu rusak sehingga kebenaran hanya berani muncul dalam kabut alkohol, dan segera disangkal begitu kesadaran kembali.
Pertanyaan yang menggelitik pun muncul: jika seorang politikus berani mengaku ingin merampok negara saat mabuk, apa yang sebenarnya dilakukannya saat sadar? Bermain catur? Berdebat tentang etika? Atau justru merampok dengan lebih rapi, sistematis, dan tanpa perlu mabuk untuk membanggakannya?
Inilah zaman ketika keteladanan terbalik. Para pemimpin tak lagi mengajarkan kebajikan, melainkan cara kreatif untuk lepas dari jerat tanggung jawab. Mereka mendemonstrasikan bahwa dengan alibi yang tepat—mabuk, stres, atau sekadar “salah bicara”—seseorang bisa lolos dari segala tuduhan moral.
Mungkin sudah saatnya kita mendirikan akademi khusus untuk calon politikus. Bukan untuk mengajarkan tata kelola atau etika, karena kuasa partai yang sangat kuat, melainkan pelatihan intensif tentang cara berpesta tanpa tertangkap kamera. Atau, jika keburu terekam, bagaimana mengubah kebenaran yang terlanjur terucap menjadi lelucon yang mudah dimaafkan.
Kita semua hanyalah penonton dalam sirkus besar ini. Kita berdecak kagum melihat kelincahan mereka memutarbalikkan kebenaran, sambil terus membayar tiketnya dengan pajak dan masa depan bangsa. Sementara itu, para aktor terus tersenyum, mungkin sambil menenggak segelas minuman lagi, bersiap untuk pertunjukan berikutnya.