Di sebuah negeri yang katanya menjunjung tinggi akal budi, namun diam-diam tergila-gila pada pesona rupa, panggung politik telah bergeser. Dulu, orang sibuk merangkai argumen, membedah data, atau berdebat filsafat. Kini? Ah, itu sudah usang, Saudara-saudari! Era “demokrasi visual” telah tiba dengan gemilang, di mana keindahan visual dan facial tak hanya bersaing, tapi telak mengalahkan keindahan intelektual dan moral.
Mari kita saksikan ironi yang menyegarkan ini: di satu sudut, ada seorang profesor dengan rambut memutih, kacamata tebal, dan tumpukan jurnal ilmiah di meja kerjanya. Otaknya adalah gudang teori ekonomi, konsep hukum tata negara, atau solusi rumit atas masalah sosial. Ia berbicara tentang indeks gini, reformasi agraria, atau ascendancy atau sistem pendidikan yang terintegrasi. Ugh, membosankan sekali!
Siapa yang mau mendengarkan rumus-rumus kering itu di tengah hiruk-pikuk kampanye? Di sudut lain, berdiri seorang “figur publik” yang baru saja turun dari catwalk atau layar kaca. Rambutnya tertata sempurna, senyumnya memesona, dan riasan wajahnya seolah memancarkan aura kebijakan yang instan. Ia mungkin tidak bisa membedakan inflasi dan deflasi, atau mungkin mengira RUU itu nama makanan. Tapi siapa peduli? Yang penting, ia tahu cara berpose di depan kamera, menyapa dengan lambaian tangan yang elegan, dan mengutip pepatah motivasi yang viral di media sosial.
Tentu, tidak semua artis tak memiliki kompetensi dan integritas. Ada pula yang membuktikan kemampuan mereka dengan kerja nyata dan dedikasi. Namun, sayangnya, mereka sering kali terkubur dalam sorotan yang lebih gemerlap dari rekan-rekan mereka yang lebih pandai bermain citra. Hasilnya? Sang profesor tergulung, kalah telak di medan suara. Suara-suara rakyat, yang katanya adalah suara Tuhan, rupanya lebih tertarik pada kilau visual daripada substansi intelektual. “Untuk apa punya wakil yang pintar tapi wajahnya biasa-biasa saja?” mungkin begitu bisik nurani kolektif. “Mending yang cakep, biaar kalau pidato di TV, mata kita enak memandang, hati adem, siapa tahu masalah bangsa bisa selesai dengan senyum manisnya!”
Partai politik, yang notabene adalah institusi penjaga gerbang demokrasi, rupanya juga memahami “logika pasar” ini dengan sangat baik. Mereka tak lagi mencari otak cemerlang, melainkan branding yang kuat. Tak perlu riset mendalam, cukup survei popularitas di Instagram. Tak perlu track record pengabdian, cukup jumlah followers yang melimpah. Para pakar? Mereka bisa jadi penasihat di belakang layar, asisten yang menulis naskah pidato, atau sekadar figuran yang memberikan legitimasi teknis. Tapi untuk urusan berebut kursi? Oh, maaf, panggung itu kini milik para bintang yang rupawan.
Maka, tak heran jika di gedung parlemen, sesekali kita mendengar interupsi yang lebih mirip celotehan di podcast ringan daripada pernyataan politis yang berbobot. Atau melihat keputusan penting yang justru diambil berdasarkan citra dan persepsi, bukan analisis mendalam. Kebijakan publik pun seringkali dirancang untuk “terlihat bagus” di mata kamera, ketimbang “bekerja efektif” di lapangan.
Fenomena ini menjadi kian kentara ketika beberapa artis legislator melontarkan pernyataan-pernyataan serampangan yang justru menyulut amarah massal. Bukannya memberikan solusi atau gagasan yang mencerahkan, mereka justru menciptakan kontroversi dengan komentar yang dangkal, tidak sensitif, atau bahkan menunjukkan ketidakpahaman mendasar terhadap isu yang mereka wakili. Misalnya, ketika seorang artis legislator menganggap enteng masalah kemiskinan dengan lelucon, atau meremehkan isu-isu sosial yang kompleks seolah-olah hanya bisa diselesaikan dengan sikap positif.
Pernyataan-pernyataan ini adalah konsekuensi logis dari proses seleksi yang lebih mengutamakan penampilan daripada kualitas intelektual dan moral. Mereka, yang terpilih berkat pesona visual, kini kesulitan menunjukkan kedalaman substansi yang dibutuhkan untuk menjadi wakil rakyat.
Demokrasi telah mencapai puncaknya, beralih dari idealisme Plato menjadi realitas reality show. Siapa yang butuh kecerdasan yang membebani, ketika karisma visual bisa menyelesaikan segalanya? Siapa yang perlu integritas moral yang rumit, jika senyum menawan mampu menutupi segala kekurangan?