Kata, sekilas hanya untaian bunyi atau huruf, menyimpan kekuatan dahsyat. Ia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi senjata yang mampu melukai, meruntuhkan, bahkan menghancurkan. Sejarah membuktikan, sebuah kata pada momen dan konteks tertentu dapat memicu petaka yang merembes ke kehidupan individu maupun masyarakat.
Kata memiliki kuasa membentuk realitas. Cap seperti “perusuh” atau “penyebar penyakit” yang dilekatkan secara sistematis dapat mengkristal menjadi kebenaran di mata massa. Secara personal, kata-kata beracun, seperti cacian atau tuduhan palsu, mampu meninggalkan luka psikologis mendalam, terutama pada usia rentan.
Di era digital, dampaknya diperparah; hate speech yang viral bisa menghancurkan reputasi dan kehidupan dalam hitungan jam. Lebih jauh, kata-kata provokatif dapat memicu konflik horizontal, kerusuhan, bahkan pertumpahan darah, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah kelam Indonesia.
Pernyataan serampangan legislator menjadi bukti nyata hilangnya hikmat dalam perwakilan publik. Hikmat, yaitu kebijaksanaan dan pertimbangan matang, seharusnya melekat pada wakil rakyat. Namun, pernyataan tak berdasar yang mereka lontarkan mencerminkan cacatnya mekanisme seleksi. Partai politik sering mengutamakan popularitas atau kekuatan finansial ketimbang integritas dan kecerdasan emosional, menghasilkan legislator yang cakap meraih suara, tetapi tak mampu menjadi negarawan.
Mengapa kata begitu rentan menjadi petaka? Niat pengucap dan konteks penerimaannya adalah kuncinya. Kata yang sama bisa netral di satu situasi, tetapi beracun di situasi lain. Kata dari figur berpengaruh—pemimpin, tokoh agama, atau selebritas—memiliki daya ledak lebih besar karena ketidaksetaraan kuasa.
Menyadari bahaya kata, tanggung jawab etis harus dipikul bersama. Literasi media dan berpikir kritis menjadi benteng melawan kata-kata beracun. Masyarakat perlu membangun budaya dialog yang santun, menjawab perbedaan dengan argumen bernalar, bukan kata penghancur. Kata adalah anugerah sekaligus senjata. Ia bisa jadi puisi yang menyejukkan atau pisau yang menusuk. Kesadaran akan potensi petaka kata adalah langkah awal menjadi agen perdamaian.