Khomeinisme dan Khoisme
Dalam masa ketiadaan Imam Mahdi atau ghaibah, kaum Syiah meyakini bahwa otoritas keagamaan dipegang oleh para ulama sebagai wakil ilahi untuk membimbing umat. Namun, ketika Imam Ruhollah Khomeini mengusulkan Wilayah al-Faqih al-Muthlaqah—sebuah konsep otoritas keagamaan yang mutlak, sentral, dan global—muncul perbedaan pandangan di kalangan ushuliyun.
Perbedaan ini melahirkan dua mazhab utama dalam pemikiran Syiah kontemporer: Khomeinisme dan Khoisme. Khomeinisme memperluas otoritas keagamaan ke ranah tata kelola negara, sedangkan Khoisme membatasi peran ulama pada bimbingan spiritual dan sosial, serta mengkritik perluasan otoritas tersebut. Perbedaan ini menunjukkan adanya ketegangan antara visi keagamaan yang mencakup tata kelola dan komitmen pada bimbingan spiritual tanpa ambisi kekuasaan.
Makna Wilayah al-Faqih al-Muthlaqah
Dalam tradisi Syiah Dua Belas Imam, otoritas faqih selama masa ghaibah hanya terbatas pada urusan seperti pengelolaan wakaf atau perlindungan anak yatim. Namun, Khomeini memperkenalkan Wilayah al-Faqih al-Muthlaqah sebagai otoritas keagamaan yang meliputi seluruh aspek kehidupan umat, termasuk hukum, moral, dan tata kelola, demi menjaga kepentingan Islam.
Konsep ini bersifat mutlak, mengikat umat secara universal, dan tidak terbatas pada politik formal. Khomeini memandang faqih sebagai penjaga umat dari penyimpangan. Secara praktis, konsep ini diterapkan di Republik Islam Iran pasca-Revolusi 1979, di mana Vali-ye Faqih sebagai Rahbar memegang wewenang tertinggi, meskipun otoritas keagamaan Wilayah al-Faqih itu sendiri jauh lebih luas dari sekadar peran politik formal ini.
Khomeinisme dan Khoisme: Perbedaan Mazhab
Perbedaan pandangan tersebut menghasilkan dua mazhab utama:
* Khomeinisme, yang merupakan warisan pemikiran Khomeini, memandang Wilayah al-Faqih al-Muthlaqah sebagai otoritas keagamaan yang mencakup tata kelola, hukum, dan bimbingan umat. Mazhab ini diterapkan di Iran, di mana Vali-ye Faqih sebagai Rahbar memimpin negara.
* Khoisme, yang dipelopori oleh Abu al-Qasim al-Khoei dan diwarisi oleh Ali al-Sistani, membatasi peran faqih pada bimbingan spiritual dan sosial. Para pengikut mazhab ini menolak Wilayah al-Faqih al-Muthlaqah sebagai inovasi yang tidak berdasar.
Pendukung Khoisme, seperti Mohammad-Reza Golpaygani, menolak konsep ini secara diam-diam dengan menghindari jabatan resmi. Sementara itu, Mohammad Kazem Shariatmadari secara terbuka menganggapnya tidak sesuai dengan tradisi Syiah, dan Hussein-Ali Montazeri mengkritik konsep ini karena bertentangan dengan prinsip musyawarah dalam Islam.
Khoisme berargumen bahwa otoritas mutlak hanya layak dimiliki oleh Imam maksum, bukan faqih yang bisa keliru, dan tidak ada dalil kuat dari Al-Quran atau hadis yang mendukungnya. Al-Sistani, misalnya, mendorong pemerintahan yang tidak bergantung pada otoritas politik faqih, seperti yang terlihat di Irak. Khomeinisme mendominasi Iran, sementara Khoisme berpengaruh di Irak dan komunitas Syiah diaspora.
Makna dan Prospek ke Depan
Perbedaan antara Khomeinisme dan Khoisme mencerminkan dua pendekatan dalam memahami otoritas keagamaan: satu yang memperluasnya ke tata kelola demi keadilan ilahi, dan satu yang membatasinya pada bimbingan spiritual. Kedua mazhab ini membentuk wacana Syiah kontemporer, dengan Khomeinisme menekankan tanggung jawab universal faqih dan Khoisme menjaga independensi spiritual. Prospek Syiah di masa depan bergantung pada kemampuan untuk menyelaraskan kedua pandangan ini, menggabungkan visi keagamaan yang luas dengan integritas spiritual, demi menyongsong kedatangan Imam Mahdi.