Di tengah kesolidan mayoritas umat Islam Syiah di bawah otoritas kesganaan sentral, tunggal dan global menghadapi hegemoni global ada beberapa sekompok Syiah yang masih mempertahankan doktrin otoritas yang tidak sentral, tidak tunggal dan terbatas pada domain ijtihad dan fikih.
Dalam konteks otoritas pada era kegaiban Syiah (Imamiyah, tentunya) terbagi dalam dua kelompok, Ahkbari dan Ushuli.
Konflik antara Kaum Akhbari dan Ushuli dalam Mazhab Imamiyah serta Kaitannya dengan Otoritas Keagamaan
Konflik antara kaum Akhbari dan Ushuli dalam mazhab Imamiyah telah berlangsung sejak sebelum abad ke-11 Hijriah, meskipun awalnya bersifat tidak resmi. Ketegangan memuncak pada abad ke-11 H seiring dengan memasyhurnya kedua istilah tersebut, di mana kedua kelompok mulai secara terbuka saling beroposisi.
Perbedaan Doktrinal Perdebatan utama antara kedua mazhab berkisar pada:
· Keabsahan ijtihad (penalaran hukum independen)
· Sumber hukum yang diakui (Akhbari hanya menerima Quran dan Sunnah)
· Penggunaan qiyas (analogi hukum)
· Status keshahihan kitab-kitab hadis utama
· Otoritas ulama non-maksum
Gelombang Sejarah
1. Dominasi Awal Akhbari (abad ke-4 H/10 M): Mazhab hadis dominan di pusat ilmu seperti Qom
2. Kebangkitan Ushuli: Dipelopori oleh Asy-Syaikh Al-Mufid, As-Sayid Al-Murtadha, dan Asy-Syaikh Ath-Thusi yang mengembangkan metodologi usul fikih
3. Kebangkitan Kembali Akhbari (abad ke-11 H): Dipimpin Muhammad Amin Al-Astarabadi dengan pendekatan yang lebih radikal
4. Kemenangan Ushuli: Dipelopori Al-Wahid Al-Bihbahani dan didukung ulama seperti Syaikh Murtadha Al-Ansari melalui pengembangan sistematis ilmu usul fikih
Dampak Kemenangan Ushuli terhadap Otoritas Keagamaan
Kemenangan mazhab Ushuli tidak hanya sekadar kemenangan dalam perdebatan metodologi fikih, tetapi lebih merupakan fondasi teologis dan hukum bagi terbentuknya struktur otoritas keagamaan yang hierarkis dalam Syiah Imamiyah pasca-ghaybah (okultasi) Imam ke-12.
Pertama, prinsip Ushuli membolehkan dan mewajibkan ijtihad. Hal ini mentransfer otoritas penafsiran dari teks semata kepada seorang individu yang memenuhi kualifikasi (mujtahid), berbeda dengan kaum Akhbari yang menolak ijtihad dan hanya menjadikan ulama sebagai saluran (narrator) teks.
Kedua, prinsip Ushuli melahirkan konsep taqlid (mengikuti pendapat hukum seorang mujtahid). Seorang mukallaf awam yang bukan ahli (disebut muqallid) diwajibkan untuk memilih dan mengikuti seorang mujtahid. Konsep ini menciptakan struktur hierarkis dengan Marja’ al-Taqlid (sumber untuk diikuti) sebagai puncaknya, yaitu mujtahid yang diakui paling alim, yang fatwanya menjadi pedoman.
Ketiga, dalam keyakinan Syiah, otoritas tertinggi berada di tangan Imam Maksum yang sedang dalam kondisi ghaybah. Marja’iyyah, yang dibangun di atas pilar metodologi Ushuli, berfungsi sebagai otoritas pengganti (niyabah) yang mengisi kekosongan kepemimpinan dalam bidang hukum dan keagamaan. Otoritas marja’ tidak bersifat sakral, tetapi berasal dari kealiman, kapasitas keilmuannya, dan penguasaannya terhadap metodologi ijtihad Ushuli.
Situasi Kontemporer Pemikiran Ushuli saat ini mendominasi hawzah ilmiah Syiah,sementara pengaruh Akhbari hanya bertahan dalam bentuk minoritas yang terpencar tanpa pengaruh signifikan dalam perkembangan fikih kontemporer. Kemenangan mazhab Ushuli merupakan prasyarat intelektual bagi lahirnya institusi Marja’iyyah yang terstruktur. Melalui kewajiban bertaqlid bagi orang awam, mazhab ini membangun sebuah piramida otoritas keagamaan yang jelas, dengan seorang Marja’ di puncaknya, yang berfungsi sebagai pemandu praktik keagamaan komunitas Syiah sambil menunggu kembalinya Imam Mahdi.
Dari sini dapat diketahui bahwa konsep otoritas yang diinovasi oleh Imam Khomeini merupakan bagian dari dinamika intelektual di kalangan ushuliyun.