Filsafat, yang pernah dianggap berat dan eksklusif, kini menarik perhatian Generasi Z Indonesia. Di media sosial seperti X dan Instagram, kutipan dari Nietzsche, Socrates, atau Camus sering muncul di timeline mereka. Pertanyaannya, apakah ini sekadar gaya baru untuk tampil intelektual, atau ada daya baru yang mendorong mereka? Bagi sebagian, filsafat menjadi bagian dari estetika digital—mengutip filsuf sambil menyeruput kopi di kafe minimalis.
Namun, minat ini tidak selalu dangkal. Gen Z menghadapi tantangan kompleks seperti krisis iklim, ketidakpastian ekonomi, tekanan media sosial, dan era post-truth. Mereka mempertanyakan makna hidup, menggemakan filsafat eksistensial Sartre atau Camus. Sains tak mampu menjawab kegelisahan seperti “Mengapa saya ada?”, sementara agama dogmatis terasa membatasi. Filsafat menjadi jembatan, menggabungkan rasionalitas Barat, kebijaksanaan Timur, hingga psikoanalisis Jung, membantu mereka memahami eksistensi di era modern.
Tema ketuhanan menjadi sorotan utama. Di tengah wacana ateisme dan agnostisisme, Gen Z mendalami konsep Tuhan melalui pendekatan filosofis yang terbuka, seperti teologi eksistensial Tillich, pemikiran Spinoza, atau pergulatan spiritual Kierkegaard. Mereka juga menjelajahi tradisi non-Barat, seperti Skolastik Aquinas yang menyatukan akal dan wahyu, atau Hikmah Muta’aliyah Mulla Sadra dengan konsep “fundamentalitas eksistensi” dan “gerak substansial” yang selaras dengan dinamika era digital.
Pada akhirnya, minat Gen Z terhadap filsafat bukan sekadar gaya baru, tapi juga daya baru. Estetika filosofis bisa menjadi pintu menuju refleksi mendalam, mengubah mereka dari konsumen informasi menjadi pemikir kritis. Di Indonesia yang dinamis, filsafat bukan lagi ornamen intelektual, melainkan kebutuhan untuk menavigasi dunia yang penuh ketidakpastian, mendorong hidup yang lebih autentik dan bermakna.