Hari itu Kamis, sebuah hari yang kelak dikenang dengan luka mendalam di hati umat. Langit kota suci tampak muram, seolah merasakan kepedihan yang akan menyelimuti tempat itu. Dalam bilik sederhana berdinding tanah liat, Pemimpin Agung terbaring lemah, tubuhnya dirundung sakit yang kian berat. Sekelilingnya, para pengikut berkumpul dengan wajah penuh kecemasan, hati terbelah antara harapan dan keputusasaan. Seorang saksi berdiri di sudut bilik, menyaksikan momen-momen berat ketika kebisingan tiba-tiba mengusik ketenangan Pemimpin Agung di saat-saat terakhirnya.
Bilik itu sederhana, beralaskan tikar pelepah kurma, namun dipenuhi aura keagungan Pemimpin Agung. Di dekatnya, Putri Agung, anak kesayangannya, duduk penuh kasih, memeluk ayahanda yang kian melemah. Pewaris Sejati, suami Putri Agung, berada di sisinya, wajahnya penuh keteguhan, matanya berkaca-kaca. Para pengikut lain, termasuk tokoh-tokoh dari kelompok pengungsi dan warga lokal kota, berkumpul di sekitar bilik, berbisik pelan dan berdoa dalam diam. Suasana begitu hening, hanya terdengar napas lemah Pemimpin Agung dan bisikan doa yang penuh harap.
Tiba-tiba, dalam keheningan itu, Pemimpin Agung membuka mata. Dengan suara lemah, penuh wibawa, beliau berkata, “Berilah tinta dan kertas untuk kutulis sesuatu yang bila diikuti, kalian aman dari kesesatan.” Kata-kata itu terdengar seperti petir. Putri Agung menunduk, tangannya menggenggam tangan ayahandanya lebih erat, seolah ingin menahan waktu yang terus berlalu.
Kebisingan segera mengusik. Seorang tokoh berpengaruh berdiri dengan nada tegas, penuh keyakinan, dan berkata, “Pemimpin Agung sedang terlalu sakit, beliau meracau. Kitab suci cukup bagi kita.” Ucapan itu memicu reaksi keras dari beberapa pengikut, terutama kelompok Penduduk Asli. Mereka yang setia mendampingi Pemimpin Agung sejak kedatangannya menentang keras perkataan itu. “Bagaimana bisa menolak permintaan Pemimpin Agung? Beliau tahu apa yang diucapkan!” seru salah seorang dari mereka, suaranya meninggi penuh semangat.
Debat pun tak terhindarkan. Suara-suara keras saling bersahutan di luar bilik, menciptakan kebisingan yang mengguncang ketenangan. Ada yang mendukung tokoh berpengaruh itu, berpendapat bahwa kondisi Pemimpin Agung terlalu lemah untuk menuliskan sesuatu, sementara yang lain, terutama warga penampung, bersikeras bahwa permintaan beliau harus dipenuhi. Pewaris Sejati memandang kerumunan dengan wajah tegang, tangannya merangkul Putri Agung yang kini menangis pelan, berusaha menenangkan hati istrinya yang terluka oleh kegaduhan itu.
Di tengah kebisingan yang kian memuncak, Pemimpin Agung membuka mata sekali lagi. Wajahnya pucat, memancarkan ketenangan yang sulit dijelaskan, dengan sedikit kerutan di dahi, tanda bahwa kebisingan itu mengusiknya. Dengan suara hampir tak terdengar, beliau berkata, “Pergilah, jangan bertengkar di hadapanku.” Nada itu penuh wibawa dan kelembutan, seolah ingin melindungi dari dosa yang tak disengaja. Kebisingan langsung terhenti, semua tersadar akan kesalahan mereka. Para pengikut menunduk, beberapa di antara mereka keluar dari bilik dengan langkah berat, hati dipenuhi penyesalan.
Putri Agung, air mata tak henti mengalir, memeluk ayahandanya lebih erat. Pewaris Sejati tetap di sisinya, berbisik pelan, mungkin berdoa atau mengucap kata-kata penghibur untuk Putri Agung. Seorang saksi di sudut bilik berdiri membeku, merasa tak layak berada di sana, namun tak mampu mengalihkan pandangan dari Pemimpin Agung. Napasnya kian pelan, wajahnya kian tenang. Tak lama kemudian, sunyi. Sunyi yang begitu dalam, seolah dunia berhenti berputar. Putri Agung menunduk, tangannya gemetar saat menyadari ayahandanya telah pergi. Pewaris Sejati memeluknya erat, wajahnya penuh kesedihan dan keteguhan, seolah berjanji untuk menjaga warisan Pemimpin Agung. Para pengikut, termasuk tokoh-tokoh berpengaruh, mendekat untuk memastikan bahwa Pemimpin Agung telah menghembuskan napas terakhir.
Dengan langkah cepat, mereka segera meninggalkan bilik, bergegas menuju Balai Suku untuk mengadakan rapat, seolah menyadari bahwa waktu untuk bertindak telah tiba. Putri Agung dan Pewaris Sejati tetap tinggal, tenggelam dalam duka yang tak terucapkan, sementara bilik itu kini hanya dipenuhi keheningan yang menyakitkan.
Di bawah bayang-bayang kesedihan atas kepergian Pemimpin Agung, ketika Keluarga Inti dan pengikut setianya tenggelam dalam duka dan sibuk dengan persiapan pemakaman, sebuah agenda terselubung telah dirancang. Pertemuan rahasia di Balai Suku bukanlah musyawarah spontan untuk mengisi kekosongan kepemimpinan, melainkan manuver politik terencana untuk merampas otoritas dari tangan yang ditunjuk oleh wasiat Ilahi. Waktu dan tempat pertemuan itu penuh kecurigaan. Ketika Keluarga Inti—termasuk Pewaris Sejati dan pendukungnya—tengah berkumpul di rumah duka, sekelompok orang dari faksi tertentu menggelar pertemuan di lokasi terpencil, sengaja mengabaikan penjaga utama warisan spiritual Pemimpin Agung.
Pertemuan itu bukan pelanggaran tata cara semata, melainkan kudeta terselubung yang memanfaatkan momen kerentanan, bahkan sebelum jasad Pemimpin Agung dimakamkan. Dalam rapat rahasia itu, sebuah narasi dibangun dengan cerdik untuk melegitimasi pengambilalihan kekuasaan. Argumen yang diusung bukan berdasarkan keutamaan spiritual atau wasiat Pemimpin Agung, melainkan pada klaim kesukuan yang dangkal—bahwa pemimpin harus berasal dari suku tertentu. Ini bertentangan dengan prinsip ketakwaan dan hubungan darah yang menjadi inti ajaran suci. Operasi pembersihan suara vokal yang menentang pun berlangsung di balik layar, di mana tokoh utama dari kelompok Penduduk Asli—dikenal sebagai Suara Lokal—tiba-tiba hilang dari peredaran, dan dikabarkan tewas secara misterius oleh kekuatan gaib seperti jin, dengan rumor yang menyebar bahwa makhluk tak kasat mata itu mengucapkan puisi sebagai tanda pembunuhan. Hilangnya suara oposisi ini memastikan jalan mulus bagi faksi pengambil alih, menghapus potensi perlawanan dari masyarakat lokal yang setia.
Wasiat Pemimpin Agung, yang menegaskan peran Keluarga Inti dan Pewaris Sejati, sengaja disingkirkan. Ajaran suci dan ikatan dengan Keluarga Inti dibungkam, digantikan oleh logika kekuasaan pragmatis. Dengan membaiat salah satu konspirator, mereka menciptakan fakta politik baru, memaksa pihak lain yang tenggelam dalam duka untuk menerima keputusan sepihak yang dikemas sebagai “konsensus.” Tujuan persekongkolan ini jelas: memutus mata rantai kepemimpinan spiritual dan menggantikannya dengan kekuasaan politik yang dapat dikendalikan. Pewaris Sejati, dibesarkan di pangkuan Pemimpin Agung dan menjadi menantunya, sengaja disingkirkan. Warisan spiritual yang seharusnya dijaga oleh Keluarga Inti dirampas dan ditempatkan di tangan yang asing.
Penempatan tanggal dan bulan wafat yang bersamaan dengan tanggal dan bulan kelahiran Pemimpin Agung dapat dilihat sebagai strategi sistematis untuk mensensor tragedi kebisingan dan rapat tertutup, mengaburkan perhatian dari pengkhianatan yang terjadi. Kebisingan yang tadi mengguncang bilik menjadi noda yang terhapus oleh air mata dan kesedihan, namun pengkhianatan di Balai Suku meninggalkan luka yang lebih dalam. Seorang tokoh berpengaruh, dari tempat rapat, menyampaikan kata-kata penuh keteguhan, “Barang siapa menyembah Pemimpin Agung, ketahuilah bahwa beliau telah wafat. Barang siapa menyembah Tuhan, sesungguhnya Tuhan Maha Hidup dan tidak pernah mati.” Kata-kata yang mempersonifikasi sistem nilao kemuliaan yang abadi itu seolah disampaikan demi menjustifikasi hasil kesepakatan sebagai suksesi yang absah.
Peristiwa di Balai Suku bukan musyawarah damai, melainkan titik awal perpecahan besar. Ia memisahkan otoritas spiritual, yang tetap melekat pada Keluarga Inti, dari kekuasaan politik yang diambil alih oleh pihak lain. Luka ini terus berdarah dalam tubuh masyarakat hingga kini.
Hari Kamis itu menjadi duka yang tak pernah usai, mengenang kepergian Pemimpin Agung sekaligus pengkhianatan terhadap wasiatnya, yang terjadi hanya dalam hitungan jam setelah kepergiannya.
Di balik tirai duka, sebuah drama bisu dimainkan. Sementara air mata membasahi bumi, langkah-langkah tergesa menuju Balai Suku, mengabaikan jasad yang belum dingin. Bukan musyawarah, melainkan lakon pengkhianatan yang ditulis di atas tikar kekuasaan. Wasiat suci tentang mata rantai kebenaran dicampakkan, digantikan perjanjian gelap yang merobek ikatan darah dan ketakwaan. Pewaris Sejati berdiri sendiri, bayangannya memanjang di antara puing-puing janji yang hancur. Dinding rumahnya menjadi saksi bisu duka ganda: kehilangan Pemimpin Agung dan tikaman pengkhianatan. Air mata Putri Agung, yang seharusnya mengalirkan kekuatan, menjadi sungai kepedihan. Kuburnya, tersembunyi sebagai protes abadi, berbisik tentang kebenaran yang menunggu untuk ditemukan.
Peristiwa ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan elegi pahit tentang luka yang tak pernah sembuh. Ia menggambarkan pengkhianatan yang merobek hati, ketika kehormatan wasiat suci ditukar dengan ambisi kekuasaan. Menjaga kemurnian misi perjuangan menuntut keberanian untuk menghadapi kebenaran sejarah yang pedih, bukan sekadar meratapi masa lalu yang indah. Kebenaran, sering bersembunyi dalam keheningan, menanti hati yang berani untuk mengungkapnya.
Kisah ini ditutur bukan untuk menggugat dan menghidupkan fosil sejarah kelam namun untuk membangun kesadaran dan spirit perlawanan terhadap kezaliman dan pemihakan kepada yang terzalimi kapan dan di manapun.