Logika dalam filsafat dan sains sering dianggap sama, namun keduanya memiliki perbedaan mendasar yang memengaruhi cara kita memahami realitas dan kebenaran. Logika dalam filsafat, khususnya metafisika, berfokus pada eksistensi atau keberadaan, sedangkan logika dalam sains berpusat pada esensi atau hakikat sesuatu.
Dalam tradisi filsafat klasik, logika metafisika berpusat pada konsep eksistensi murni. Konsep ini memahami keberadaan sebagai sesuatu yang sederhana (simple), bukan dalam arti tidak rumit, melainkan tidak memiliki komposisi. Artinya, eksistensi tidak dapat diuraikan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Eksistensi adalah fondasi dari segala sesuatu yang ada. Saat seorang filsuf metafisika menyatakan, “Satu adalah satu,” ini bukanlah perhitungan matematis. Ia sedang mengungkapkan kebenaran ontologis, yaitu bahwa sesuatu yang ada adalah dirinya sendiri secara mutlak, tanpa perlu perbandingan atau konteks eksternal. Hukum-hukum logika formal, seperti hukum identitas (A adalah A) dan hukum non-kontradiksi (A tidak dapat sekaligus menjadi non-A), tidak relevan dalam ranah ini. Hal ini karena hukum-hukum tersebut mengandaikan adanya pembedaan dan perbandingan, sementara eksistensi adalah kesatuan yang tak terbagi. Dalam keberadaan murni, tidak ada “yang lain” untuk dibandingkan atau dikontraskan. Eksistensi hanya ada tanpa perlu definisi melalui oposisi.
Berbeda dengan logika metafisika, logika sains beroperasi dalam dunia yang penuh struktur dan hubungan. Jika logika metafisika menjawab pertanyaan “bahwa sesuatu ada,” logika sains menjawab pertanyaan “apa dan bagaimana sesuatu itu.” Dalam sains, kita berurusan dengan esensi—hakikat sesuatu yang dapat dianalisis, diukur, dan dibandingkan. Esensi bersifat kompleks karena tersusun dari berbagai atribut dan karakteristik. Misalnya, sebuah atom hidrogen dapat diuraikan menjadi proton, elektron, dan sifat-sifat fisiknya. Setiap komponen bisa dipelajari secara terpisah dan dalam hubungannya dengan komponen lain. Dalam sains, konsep “satu” selalu bersifat relasional. Dalam sistem biner komputer, “1” bermakna karena ada oposisinya, yaitu “0.” Bahkan dalam pengamatan empiris, “satu apel” bermakna dalam konteks kategori “apel” dan sistem pengukuran kuantitas. Dengan demikian, logika sains adalah logika perbandingan dan pengukuran. Kebenaran ilmiah dicari melalui observasi, eksperimen, dan verifikasi yang selalu melibatkan hubungan antara berbagai fenomena.
Kedua jenis logika ini tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi. Sama seperti mata manusia yang membutuhkan kedua bola mata untuk menciptakan persepsi kedalaman, pemahaman yang lengkap tentang realitas juga membutuhkan kedua dimensi logika ini. Kebenaran dalam metafisika bersifat self-evident. Keberadaan itu sendiri adalah syarat bagi segala bukti, sehingga tidak memerlukan bukti eksternal. Sementara itu, kebenaran dalam sains selalu provisional dan terbuka untuk revisi. Teori ilmiah, bahkan yang paling mapan sekalipun, dapat dibantah oleh bukti baru. Ini adalah kekuatan sains, yaitu kemampuannya untuk terus menyempurnakan pemahaman melalui dialog berkelanjutan dengan realitas empiris.
Memahami perbedaan antara logika metafisika dan logika sains membuka pandangan yang lebih kaya tentang realitas. Dengan menggunakan masing-masing secara tepat sesuai konteksnya, kita dapat memahami realitas dalam seluruh spektrumnya, dari pertanyaan mendasar tentang keberadaan hingga detail kompleks dari dunia empiris.