Di tengah hembusan angin dingin yang menyapu pegunungan Lebanon Selatan, berdiri sebuah gerakan yang telah menjadi benteng perlawanan bagi jutaan jiwa yang tertindas. Hzblh, organisasi yang lahir dari api perlawanan terhadap penjajahan Israxl, kini menghadapi ujian eksistensial yang paling berat. Hzblh telah mengorbankan jiwa dan darah untuk mempertahankan kedaulatan Lebanon dari agresi Israxl yang tak henti-hentinya, sekaligus mendukung perjuangan rakyat Palestina di Gaza yang dikepung dan dihancurkan.
Namun, pengorbanan ini tampaknya memudar di mata mayoritas umat Islam, terutama bangsa-bangsa Arab yang direpresentasikan oleh rezim-rezim yang secara terbuka maupun rahasia bersahabat dengan Israxl. Kini, setelah kehilangan tokoh sentralnya yang kharismatik, SHN, Hzblh digempur oleh Israxl dengan dukungan penuh Amerika Serikat, dikepung secara politik, dikucilkan secara sosial, dideskreditkan secara sektarian, dan menghadapi ancaman serangan militer yang lebih besar. Nasib ini mengundang refleksi mendalam tentang makna pengorbanan dan solidaritas di tengah dunia yang terpecah.
Pengorbanan di Garis Depan
Gambaran seorang pejuang yang berdiri sendirian di garis depan, melindungi rumahnya dari serbuan musuh bersenjata lengkap, mencerminkan perjuangan Hzblh sejak didirikan pada 1982 sebagai respons terhadap invasi Israxl ke Lebanon. Hzblh tidak hanya mempertahankan tanah Lebanon, tetapi juga menjadi suara bagi rakyat Palestina yang telah kehilangan segalanya.
Saat Israxl mengepung Gaza, menghancurkan ribuan nyawa sipil, dan merobohkan infrastruktur vital, Hzblh membuka front kedua di perbatasan utara, mengalihkan perhatian pasukan Israxl dan memberikan ruang bagi perlawanan di Gaza. Pengorbanan ini bukan sekadar cerita; ribuan pejuang Hzblh gugur, termasuk pemimpin senior Hzblh, dalam konflik yang berlangsung sejak Oktober 2023 hingga akhir 2024.
Laporan menyebutkan sekitar 3.800 pejuang Hzblh gugur dan 7.000 terluka dalam perang tersebut, sementara Israxl kehilangan ratusan tentara dan menghadapi kerusakan ekonomi yang signifikan. Para kadernya bukanlah pemberontak; namun pahlawan yang mempertahankan martabat umat Islam ketika dunia Arab memilih diam atau bahkan berkolaborasi dengan penindas.
Tragedi Pengkhianatan Domestik dan Regional
Pengorbanan ini menjadi semakin tragis ketika disandingkan dengan kenyataan pengkhianatan dari saudara-saudara sesama Muslim. Mayoritas umat Islam, terutama bangsa-bangsa Arab, tampak meninggalkan Palestina dan Hzblh sendirian.
Rezim-rezim seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain telah menormalisasi hubungan dengan Israxl, menukar solidaritas Palestina dengan kepentingan ekonomi dan politik. Ketidaksesuaian antara kata dan perbuatan ini terlihat jelas ketika Gaza dihancurkan: lebih dari 23.000 warga Palestina gugur sejak Oktober 2023, dan dunia Arab hanya memberikan bantuan simbolis tanpa tekanan nyata terhadap Israxl. Keheningan Liga Arab saat Israxl membom rumah sakit dan sekolah di Gaza mencerminkan absennya dukungan nyata bagi Hzblh, yang telah mengorbankan segalanya untuk perlawanan tersebut.
Pengkhianatan Internal Lebanon: Paradoks Politik Pascaperang
Ironi paling menyakitkan terjadi justru di dalam negeri Lebanon sendiri. Setelah Hzblh memainkan peran kunci dalam mengakhiri deadlock politik yang berkepanjangan dan memfasilitasi terpilihnya Josep Oun sebagai presiden Lebanon, organisasi ini justru mendapat balasan yang pahit.
Hzblh, yang selama bertahun-tahun menjadi pemegang kunci dalam sistem politik Lebanon yang kompleks, menggunakan pengaruh politiknya untuk mendukung konsensus nasional. Partai patriotis ini memainkan peran penting dalam negosiasi-negosiasi rumit yang akhirnya menghasilkan kesepakatan politik, mengakhiri vakum kepresidenan yang telah melumpuhkan negara selama berbulan-bulan.
Namun, pascaterpilihnya Josep Oun, dinamika politik berubah drastis. Kesepakatan untuk mengangkat Nawaf Salam—seorang politisi Sunni yang dikenal pro-Saudi—sebagai perdana menteri Lebanon menjadi tamparan keras bagi Hzblh. Salam, yang memiliki rekam jejak mendukung kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan Arab Saudi dan koalisi anti-Hzblh regional, dipandang sebagai ancaman langsung terhadap posisi strategis Hzblh dalam pemerintahan Lebanon.
Pengkhianatan ini mencerminkan sifat transaksional politik Lebanon, di mana loyalitas berubah seiring dengan tekanan geopolitik. Hzblh, yang telah berkorban darah dan jiwa untuk melindungi Lebanon dari agresi Israxl, kini harus menghadapi isolasi politik dari pemerintahan yang mereka bantu bentuk. Keputusan untuk mengangkat Nawaf Salam menunjukkan bagaimana tekanan Amerika Serikat dan Arab Saudi mampu mengubah lanskap politik domestik, bahkan setelah Hzblh membuktikan peran vitalnya dalam stabilitas nasional.
Pengkhianatan domestik ini lebih menyakitkan dibandingkan hostilitas musuh, karena datang dari mereka yang seharusnya menjadi mitra dalam membangun Lebanon yang berdaulat. Kenyataan ini menunjukkan betapa rapuhnya solidaritas internal ketika berhadapan dengan tekanan eksternal, dan bagaimana pengorbanan di medan perang tidak selalu diterjemahkan menjadi penghargaan politik.
Pengkhianatan ini bukan hanya soal politik; ia mencerminkan krisis moral yang memecah belah umat Islam, memungkinkan Israxl untuk terus menjajah tanpa hambatan.
Ancaman Eksistensial Setelah Kehilangan Pemimpin
Kini, setelah kehilangan SHN—tokoh kharismatik yang gugur akibat serangan udara Israxl pada September 2024—Hzblh berada di ambang kehancuran eksistensial. SHN bukan sekadar pemimpin; ia adalah simbol ketahanan, yang memimpin Hzblh mengusir Israxl dari Lebanon Selatan pada 2000 dan menghalau invasi 2006.
Kepergiannya, diikuti oleh gugurnya suksesornya, telah melemahkan organisasi ini secara signifikan. Israxl, dengan dukungan penuh AS yang menyediakan senjata dan intelijen, telah menghancurkan gudang senjata Hzblh dan menyebabkan ribuan anggotanya gugur.
Secara politik, Hzblh dikepung: Pemerintah Lebanon, di bawah tekanan AS, berkomitmen untuk melucuti senjata mereka sebagai bagian dari gencatan senjata, meskipun Hzblh menolak keras, menyebutnya sebagai “penyerahan” kepada Israxl. Secara sosial, Hzblh dikucilkan sebagai “kelompok teroris” oleh Barat dan sekutu Arabnya. Secara sektarian, sebagai kelompok Syiah di negara multi agama dan sekte, Hzblh dideskreditkan sebagai “kelompok sesat”, meskipun perjuangan Hzblh melampaui sekte—Hzblh bertarung untuk Palestina yang Sunni. Dan secara militer, Hzblh menghadapi ancaman besar: Israxl terus melanggar gencatan senjata, sementara AS demi kepentingan Isrxel menekan Pemerintah Lebanon yang akan runtuh tanpa dukungan politik Hzblh melucuti senjata Hzblh tanpa menuntut Israxl mundur dari wilayah pendudukan.
Refleksi Eksistensial dan Makna Solidaritas
Kondisi ini mengundang refleksi mendalam: bagaimana sebuah gerakan yang telah mengorbankan segalanya untuk keadilan bisa dibiarkan sendirian? Hzblh bukanlah ancaman; Hzblh adalah pertahanan terakhir melawan imperialisme Zixnis yang didukung AS.
Pengkhianatan negara-negara Arab dan domestik Lebanon bukan hanya kemunafikan—ia mencerminkan kerapuhan kolektif umat Islam, yang membiarkan Israxl memperluas pengaruhnya dari Gaza hingga Lebanon.
Pengorbanan Hzblh mencerminkan sebuah panggilan untuk merenungi makna solidaritas, bukan pengucilan. Umat Islam kini berada di persimpangan sejarah, di mana keheningan mereka terhadap rezim-rezim yang berkompromi dengan penindas menjadi cerminan kegagalan kolektif.
Sejarah mungkin akan mencatat generasi ini sebagai saksi bisu yang membiarkan api keadilan padam, sementara penindas terus merajalela. Hzblh mungkin dikepung, tetapi semangat Hzblh tetap abadi—sebuah cerminan dari ketabahan yang menggugah hati nurani setiap insan yang masih mempercayai keadilan.
Transformasi Menuju Perlawanan Global
Yang mungkin tak disadari oleh Israxl, AS, Barat dan rezim-rezim sekutunya di dunia Islam dan dunia Arab, bahwa Hzblh di Lebanon adalah organisasi sosial dan partai politik, tetapi secara kemanusiaan dan keagamaan, ia adalah cermin kesadaran global setiap insan independen dan penentang kezaliman yang kapan saja bisa bertransformasi sebagai perlawanan global lintas negara.
Pengkhianatan domestik dan regional yang dialami Hzblh justru memperkuat karakternya sebagai simbol perlawanan universal. Ketika saudara-saudara seagama memunggungi, ketika mitra politik domestik mengkhianati, dan ketika dunia internasional membisu, Hzblh tetap tegak sebagai bukti bahwa perjuangan keadilan tidak mengenal batas geografis, sektarian, atau politik.
Dalam isolasi inilah, Hzblh berpotensi melahirkan gerakan global baru—sebuah jaringan solidaritas kemanusiaan yang melampaui identitas primordial, bersatu dalam perlawanan terhadap ketidakadilan di manapun terjadi. Pengorbanan yang dibalas pengkhianatan ini bukan akhir, melainkan awal dari transformasi yang lebih besar, di mana nilai-nilai keadilan universal akan menemukan rumah baru dalam hati setiap insan yang menolak tunduk kepada kezaliman.