Di hamparan gurun yang tak bertepi, ranting zaitun bergemerisik dalam hembusan angin senja. Suaranya bagai rentetan dawai biola yang retak, melantunkan simfoni duka yang membelah keheningan sahara. Setiap helai daun yang bergetar membisikkan berita yang mengguncang langit dan bumi—sebuah tragedi yang akan mengubah warna sejarah untuk selamanya.
Angin kering bertiup kencang, membawa serta desahan sendu yang menembus gerbang-gerbang Madinah al-Munawwarah. Hembusan itu menyapu jalanan, merayapi sudut-sudut pasar, hingga akhirnya berhenti di ambang altar suci—pusara Sang Kekasih Allah. Di sana, ketenangan yang selama ini menyelimuti kota suci mulai terguncang oleh firasat yang tak tertahankan.
Warga Madinah mulai bergumam gelisah. Satu per satu mereka meninggalkan timbangan dagang, mencangkul terakhir di ladang, dan berhamburan menuju gerbang kota dengan hati yang berdebar. Kabar itu telah sampai: kafilah putri-putri Muhammad sedang dalam perjalanan pulang. Namun ini bukanlah kepulangan yang penuh suka cita—ini adalah kepulangan yang diliputi kelabu mendung.
Ketika kafilah itu akhirnya memasuki gerbang kota, seluruh penduduk Madinah seakan membeku dalam keheningan yang menghanyutkan. Kepala-kepala yang biasanya tegak dengan penuh kebanggaan, kini serempak merunduk dalam gelisah yang mendalam. Mereka menghormat kilau wibawa yang masih terpancar dari para putri Rasulullah, meski kini wibawa itu terbungkus dalam selubung duka yang tebal.
Derap kaki kuda menggema di sepanjang jalan menuju Masjid Nabawi. Setiap langkah adalah pukulan pada hati yang sudah terluka. Khalayak semakin ramai berjejal, membentuk lorong manusia yang memanjang hingga ke beranda masjid suci. Tangis haru bersinambung dari mulut ke mulut, dari hati ke hati, menciptakan paduan suara duka yang mengguncang fondasi kota.
Kafilah bergerak maju dengan perlahan, membelah kerumunan seperti perahu yang mengarungi lautan air mata. Para dewi Karbala—putri-putri mulia yang telah menyaksikan kehancuran di tanah yang gersang itu—turun dari punggung kuda dengan langkah-langkah yang lamat dan penuh makna. Setiap jejak kaki mereka di tanah Madinah adalah saksi bisu dari tragedi yang telah menimpa keluarga Nabi.
Warga bergerak dalam khidmat yang luar biasa, membentuk pawai hitam pekat yang memenuhi setiap sudut kota. Langit seakan ikut berkabung, menghitam lebih pekat dari biasanya. Sejarah mencatat dengan tinta merah darah yang telah tertumpah di Karbala. Gelombang tangis berdebur seperti ombak yang tak pernah reda, menghantam setiap hati yang masih memiliki nurani.
Iringan berhenti di ambang kawasan pusara suci. Di sana, waktu seakan berhenti berdetak. Ada upacara khusus yang tak pernah terbayangkan sebelumnya—upacara pertemuan antara yang hidup dan yang telah kembali kepada Sang Khaliq. Ada pelepasan rindu yang telah terbendung selama perjalanan panjang dari Karbala ke Madinah.
Di sana, batu-batu nisan retak dalam genggaman tangan kurus yang gemetar—tangan-tangan yang telah kehilangan segalanya namun masih berusaha meraih kedamaian terakhir. Ada yang roboh tak berdaya, meraung-raung mengeluhkan lara yang tak terperi. Suara tangisan mereka memecah keheningan malam, menciptakan lagu duka yang akan dikenang sepanjang masa.
Ada yang merangkak lunglai menggapai pusara, seakan berharap dapat merasakan kehangatan pelukan terakhir dari sang kakek tercinta. Ada yang bergulung-gulung di samping makam, mencari penghiburan dalam dinginnya batu nisan. Ada bidadari dunia yang pingsan karena tak mampu lagi menahan beban duka yang menumpuk di dada.
Ada yang kehabisan kata dan air mata, terdiam dalam kebisuan yang lebih bersuara daripada jeritan paling keras. Ada merpati luka yang tergeletak di sana—simbol kedamaian yang telah tercabik oleh kejamnya realita. Ada danau air hangat yang berderai di depan nisan, terbentuk dari jutaan tetes air mata yang jatuh tanpa henti.
Ada tembang aneh yang mengalun lirih di bilik-bilik hati—melodi duka yang tak pernah ada sebelumnya, namun langsung dipahami oleh setiap jiwa yang mendengarnya.
Ummu Kultsum, putri Ali dan Fatimah, roboh tak berdaya di depan makam kakeknya. Suaranya bergetar dalam bisikan yang memilukan hati:
“Assalamu alaika, ya Jaddi! Salam sejahtera untukmu, wahai kakek tercinta! Oh, betapa kami tersiksa oleh rindu yang mendalam kepadamu! Aku adalah seorang wanita yang kini tanpa pelindung, tanpa saudara, tanpa harapan di dunia yang kejam ini! Jika engkau mengizinkan, bawalah aku bersamamu ke alam yang penuh kedamaian!”
Sukainah, si kecil yang telah menyaksikan kekejaman yang tak pantas dilihat oleh mata seorang anak, memeluk pusara dengan seluruh kekuatan yang tersisa. Suaranya yang lirih namun penuh kemarahan mengadu:
“Assalamu alaika, ya Rasulullah! Salam sejahtera atasmu, wahai utusan Allah yang mulia! Kami sungguh kesepian dan sengsara di dunia ini! Umatmu—mereka yang mengaku mencintaimu—telah membunuh putramu dan menganiaya putri-putrimu dengan kejam yang tak terperi!”
Zainab al-Kubra, wanita yang telah menjadi simbol keteguhan dan kesabaran, kini lunglai memeluk makam kakeknya. Suaranya memekik pilu, memecah keheningan malam dengan ratapan yang akan dikenang sepanjang zaman:
“Assalamu alaika, ya Jaddi al-Habib! Salam rindu yang mendalam untukmu! Inilah kami, wanita-wanita dari keluargamu, datang dalam keadaan yang hina dan terluka! Kami datang untuk mengadukan derita yang tak terperi!
Al-Husain—cahaya hati dan matamu, kebanggaan Fatimah az-Zahra, penerus risalahmu—telah diinjak-injak oleh ratusan kaki kuda di tanah Karbala yang berdarah! Al-Husain, cucu kesayanganmu, telah dipenggal dengan keji. Lehernya digorok perlahan-lahan oleh tangan-tangan yang tak mengenal belas kasihan. Sorbannya yang suci telah dikoyak-koyak seperti kain murahan. Jubahnya yang penuh berkah telah dilucuti oleh orang-orang yang dengan lancang mengaku sebagai umatmu. Mereka yang seharusnya melindungi keluargamu, justru menjadi pembunuh dan perampok yang tak berperikemanusiaan!
Ya Rasulullah, kami datang untuk mengadu dan menyampaikan bela sungkawa kepadamu, kepada az-Zahra yang suci, kepada Amirul Mukminin Ali! Lihatlah apa yang telah mereka lakukan terhadap darah dagingmu!”
Meledaklah tangis khalayak di altar Masjid Nabawi.
Suara isakan bercampur dengan lantunan takbir yang memilukan. Fitrah manusia seakan berkabung, menangisi kezaliman yang telah menimpa keluarga Nabi. Takbir “Allahu Akbar” membahana di angkasa, bersusul dengan pekik “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” yang bergema di setiap sudut kota.
Malam itu, Madinah menangis. Bintang-bintang seakan redup, ikut berduka atas tragedi yang telah mengoyak hati umat. Angin malam membawa doa-doa yang terputus-putus, harapan-harapan yang hancur, dan tekad baru yang mulai tumbuh dari dalam derita.
Dari Karbala, mereka membawa lebih dari sekadar cerita tentang kematian. Mereka membawa pesan tentang keberanian untuk tetap tegak dalam menghadapi kezaliman, tentang cinta yang tak pernah padam meski diuji dengan cara yang paling kejam, dan tentang harapan yang tetap menyala meski diselimuti kegelapan yang pekat.
Karbala bukan hanya sebuah nama tempat. Karbala adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, adalah saksi bisu tentang harga yang harus dibayar untuk mempertahankan kebenaran, dan adalah pengingat abadi bahwa cinta sejati tidak pernah mati, meski tubuh yang dicintai telah kembali kepada Sang Pencipta.
Malam itu, dalam tangis dan doa, dalam duka dan harapan, sejarah menulis babak baru. Babak tentang bagaimana cinta dapat bertahan menghadapi ujian terberat, tentang bagaimana kebenaran akan tetap bersinar meski diselimuti kegelapan, dan tentang bagaimana pengorbanan yang tulus akan menjadi cahaya yang menerangi jalan generasi-generasi yang akan datang.
Dari Karbala, mereka pulang. Bukan sebagai yang kalah, tetapi sebagai yang telah memberikan segalanya untuk cinta dan kebenaran. Dan dalam setiap air mata yang jatuh di pusara Nabi, dalam setiap doa yang terlafal di malam itu, tumbuh benih-benih harapan baru yang suatu hari akan mekar menjadi bunga keadilan yang harum mewangi.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.