Dalam tapestri sejarah Indonesia, posisi bupati muncul sebagai simbol kekuasaan lokal yang sarat dengan lapisan-lapisan kekuasaan, dari era kolonial hingga masa pasca-kemerdekaan. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, bupati adalah perpanjangan tangan imperium asing, diangkat dari kalangan priyayi atau bangsawan turun-temurun untuk menjalankan indirect rule—sebuah strategi licik yang memanfaatkan elite lokal guna mengendalikan rakyat tanpa konfrontasi langsung. Mereka bertanggung jawab atas pengumpulan pajak seperti landrente, pengerahan kerja rodi (herendienst), dan pemeliharaan ketertiban adat, semuanya di bawah pengawasan ketat residen Belanda. Wewenangnya luas dalam urusan lokal, namun hakikatnya hanyalah boneka kolonial: loyalitas kepada Gubernur Jenderal lebih utama daripada kesejahteraan rakyat, dengan imbalan hak istimewa yang memperkuat status feodal mereka.
Setelah kemerdekaan tahun 1945, transformasi ini seharusnya menjadi tonggak emansipasi. Bupati berubah menjadi pejabat publik dalam kerangka negara berdaulat, diangkat oleh pemerintah pusat atau—pasca-reformasi 1998—dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada. Fungsinya bergeser ke arah pembangunan daerah, pengelolaan anggaran otonomi, dan pelayanan publik seperti pendidikan serta kesehatan, sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Hubungannya dengan pusat pun lebih terintegrasi, dengan akuntabilitas kepada gubernur dan masyarakat, bukan lagi kepada kekuatan asing. Namun, di balik fasad demokrasi ini, ironinya terungkap: banyak bupati modern justru mewarisi watak feodal masa lalu, memperlakukan rakyat sebagai bawahan dan jabatan sebagai alat akumulasi kekuasaan pribadi.
Kritik terhadap fenomena ini tak bisa diabaikan. Meskipun sistem Pilkada dirancang untuk menciptakan pemimpin yang responsif, realitasnya sering kali didominasi oleh dinasti politik, nepotisme, dan korupsi—mirip dengan bupati kolonial yang memprioritaskan kepentingan elite atas rakyat. Penyebabnya multifaset: lemahnya pengawasan dari DPRD dan pemerintah pusat, budaya feodal yang masih melekat di masyarakat agraris, serta mentalitas patronase yang membuat bupati bertindak sewenang-wenang. Contohnya, pengelolaan anggaran daerah yang tidak transparan sering kali mengarah pada kolusi dan nepotisme (KKN), di mana bupati memanfaatkan wewenang otonomi untuk memperkaya diri atau kroni, sementara rakyat dibiarkan dalam kemiskinan struktural. Ini bukan sekadar kegagalan individu, melainkan kegagalan sistemik yang mempertahankan hierarki kolonial dalam bentuk baru: bupati bukan lagi pelayan publik, tapi penguasa mini yang menindas bawahan.
Sebuah ilustrasi kontemporer yang mencolok adalah konflik di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, di mana Bupati Sudewo menghadapi gelombang protes massal dari rakyatnya. Kebijakan kontroversial seperti kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250% dan penerapan lima hari sekolah memicu amarah, yang semakin membara ketika Sudewo menantang warga untuk berdemonstrasi dengan 50.000 orang—sebuah sikap arogan yang mengingatkan pada bupati kolonial yang menganggap rakyat sebagai objek kekuasaan. Meskipun kebijakan itu kemudian dibatalkan dan permintaan maaf disampaikan, demo besar-besaran pada 13 Agustus 2025 berujung ricuh: ribuan warga memadati alun-alun, melempar batu dan membakar mobil polisi, sementara aparat merespons dengan gas air mata. DPRD bahkan membentuk pansus pemakzulan, menandakan krisis legitimasi yang dalam. 0 1 2 Konflik ini bukan anomal, tapi cermin bagaimana watak feodal bertahan: bupati yang seharusnya melayani justru memprovokasi, memperlakukan rakyat sebagai ancaman alih-alih konstituen.
Pada akhirnya, evolusi bupati dari era kolonial ke modern adalah narasi tentang potensi yang terbuang. Untuk memutus rantai feodalisme ini, diperlukan reformasi mendalam: penguatan akuntabilitas melalui transparansi anggaran, pendidikan politik bagi masyarakat, dan penegakan hukum tegas terhadap KKN oleh lembaga seperti KPK.
Hanya dengan demikian, bupati bisa benar-benar menjadi pemimpin rakyat, bukan relik kolonial yang menyamar dalam demokrasi. Kasus seperti Pati mengingatkan kita: tanpa perubahan, sejarah akan terus berulang, dan rakyat akan tetap menjadi korban kekuasaan yang abusif.