Dalam diskursus filosofis, kemerdekaan dan kebebasan sering kali dianggap sama, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda secara fundamental. Kemerdekaan adalah pengakuan eksternal, sebuah status politik yang diperoleh melalui validasi dari pihak lain—negara, hukum, atau lembaga internasional. Filsuf seperti Hegel melihatnya sebagai hasil dari “pengakuan” (Anerkennung) dunia, sementara Hobbes menyebutnya “kontrak artifisial” yang disepakati bersama. Kemerdekaan bersifat reaksioner, lahir dari penindasan dan diperjuangkan melalui proklamasi dan perjuangan politik, seperti yang dialami Indonesia.
Berbeda dengan kemerdekaan, kebebasan adalah pengalaman internal, sebuah kesadaran diri yang melekat pada setiap individu sejak lahir. Pemikir Barat seperti Locke, Mill, dan Kant memandang kebebasan sebagai hak primordial dan alami yang tidak diberikan oleh negara, melainkan harus dilindungi olehnya. Negara hanya bertugas mengatur ruang agar kebebasan individu dapat teraktualisasi, bukan menciptakannya.
Namun, tradisi pemikiran Islam Syiah menawarkan perspektif yang lebih mendalam. Kebebasan tidak hanya dipandang sebagai hak, melainkan juga sebagai kewajiban spiritual. Bagi Misbah Yazdi, kebebasan sejati adalah pembebasan diri dari nafsu material, sebuah “anarki terselubung” yang lahir dari terpisahnya kebebasan dari tanggung jawab moral. Murtadha Mutahhari menekankan pentingnya kesadaran sosial, di mana kebebasan individu harus seimbang dengan tanggung jawab kolektif.
Ali Khamenei menambahkan dimensi politik dengan konsep velayat-e faqih, menentang demokrasi liberal yang memisahkan kedaulatan dari fondasi spiritual. Kemerdekaan sejati, baginya, adalah kedaulatan yang berakar pada legitimasi Ilahi dan tidak memerlukan pengakuan dunia. Sementara itu, Hasan Nasrullah, melalui konsep muqawama (perlawanan), menunjukkan bahwa kemerdekaan sejati harus diwujudkan melalui perlawanan aktif terhadap hegemoni asing. Muqawama adalah perpaduan antara dimensi spiritual dan politik, menjadikan perlawanan bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban religius.
Sintesis dari pandangan Barat dan Timur ini menunjukkan bahwa kemerdekaan politik tanpa landasan spiritual akan rapuh, dan kebebasan tanpa batasan moral adalah ilusi. Keduanya harus saling melengkapi: kemerdekaan sebagai pengakuan eksternal harus diimbangi dengan kebebasan sebagai kesadaran internal. Negara berfungsi sebagai fasilitator, bukan pencipta.
Pada akhirnya, seperti yang dikatakan Mutahhari, kesadaran adalah cahaya yang mengubah kebebasan dari hak menjadi kewajiban. Inilah titik temu di mana pengakuan dunia dan penghayatan diri, politik dan spiritualitas, bertemu untuk menciptakan makna sejati dari kemerdekaan dan kebebasan manusia.