Di hamparan gersang waktu, kalbu-kalbu yang terbelit rindu merintih syahdu, pilu mengais debu jejak Al-Husain. Mereka adalah peziarah jiwa, terdorong oleh hasrat yang lebih dalam dari sekadar air mata, menelusuri tapak-tapak pengorbanan abadi. Di hadapan cahaya kesucian itu, kita, yang keimanannya masih terkatung-katung di dataran rendah, menyadari betapa tak layaknya bersandar pada timbunan amal semata. Satu-satunya tumpuan adalah harapan—harapan untuk tercatat sebagai pecinta mereka yang terjaga kesuciannya. Harapan adalah nyala terakhir yang tak pernah padam dalam sanubari. Harta boleh lenyap, sanak saudara boleh pergi, namun biarlah harapan itu tetap tegak, bagai mercusuar di tengah samudera gelap. “Jalan Kesucian” ini, yang penuh duri dan onak, kita pilih bukan karena kemudahannya, melainkan justru karena harapan akan kejayaan, kebahagiaan, dan kesempurnaan yang bersinar di ujung perjalanan.
Alasan memilih “Jalan Kesucian” ini bukan demi kenyamanan duniawi yang semu, bukan pula untuk ketenteraman ragawi atau perlindungan dari gangguan. Ia dipilih justru karena rintangan dan kesulitan yang melekat padanya—rintangan yang membuat banyak jiwa berpaling, membenci, bahkan mencemoohnya. Karbala, tujuan akhir kelana ini, adalah muara dari segala “niraman” (kehausan spiritual) dan “nirnyaman” (ketiadaan kenyamanan duniawi). Memilih jalan Al-Husain adalah pemberontakan diam nan perkasa terhadap arus deras materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme yang membendung zaman. Tiada keraguan untuk mengayunkan langkah, melanjutkan kelana menyusul karavan syahadah Sang Imam. Mata dunia boleh terbelalak, mulut-mulut boleh bergumam heran. Sungguh, para pelintas “Jalan Kesucian” ini telah melompat keluar dari orbit kemanusiaan yang biasa; mereka adalah bintang-bintang yang memilih orbitnya sendiri.
Para pejalan ruhani ini memiliki puncak reuni tahunannya yang agung: Ritus Arbain. Sebuah long march kolosal, rekonstruksi hidup dari perjalanan menuju Prahara Bencana yang menggetarkan sanubari 14 abad silam. Terpampanglah lebih dari dua puluh lima juta pecinta Al-Husain, dari segala penjuru bola bumi, berduyun-duyun dalam pawai duka yang membentang, mengenakan serba hitam pekat, bergelombang dalam samudera rindu menuju Karbala. Inilah pertemuan akbar umat manusia yang mungkin belum pernah disaksikan bumi sejak ia pertama kali berputar. Inilah Arbain—simponi solidaritas dan cinta yang menggema melintasi zaman.
Dalam ritual Long March Arbain yang sakral ini, segala identitas artifisial lebur bagai lilin di hadapan matahari cinta. Suku, bangsa, negara, budaya, tradisi, bahasa—semuanya mencair, menyublim menjadi satu entitas tunggal yang agung: Husainisme. Spirit ini adalah api yang tak kunjung padam, perlawanan abadi terhadap segala bentuk kezaliman dan penindasan. Selama tiga hari penuh, setiap jiwa hanya terfokus pada satu titik magnetik: mengungkapkan cinta dan kesetiaan kepada Al-Husain di tanah Karbala nan suci. Dalam pentas agung ini, manusia terbagi hanya dalam dua peran suci: peziarah atau pelayan peziarah.
Terpancarlah panorama pengabdian itu! Ada peziarah yang menapaki debu gurun dengan kaki telanjang, langkah demi langkah penuh ketekunan. Ada yang berlari kecil, didera rindu yang membara. Ada yang merangkak perlahan, digerakkan iman meski usia telah renta atau tubuh telah lumpuh. Ada yang ditandu penuh khidmat, ada yang didorong di atas kursi roda, menjadi saksi hidup keteguhan hati. Ada yang berhenti sejenak, melepas penat di tepian jalan. Ada yang kakinya melepuh, terluka, namun tekadnya tak goyah. Ada yang terus melangkah, meski darah menetes dari kakinya, membasahi tanah yang mereka sucikan. Ada yang tergeletak kelelahan, diangkut dengan penuh hormat oleh mobil atau ambulan—setiap tetes keringat dan darah adalah persembahan.
Para pelayan peziarah? Mereka bukan petugas resmi berbalut seragam atau digaji negara. Menjadi pelayan za’ir (peziarah) adalah mahkota kemuliaan yang mereka rebut dengan sukacita. Setiap orang melayani sesuai kemampuan dan keunikannya, mencipta mosaik indah pengabdian. Kelompok-kelompok masyarakat mendirikan tenda-tenda mawkib sepanjang jalan Najaf-Karbala (sekitar 90 KM), menjadi oasis yang menawarkan istirahat, pengobatan, dan makanan bagi yang lelah. Individu-individu berdiri menghadang pejalan, tangan terbuka menawarkan aneka hidangan dan minuman penyegar. Sering terdengar ajakan hangat berebut meminta peziarah singgah, mencicipi jamuan sederhana nan penuh makna. Yang paling mengharukan, orang-orang berpenampilan sederhana bahkan memohon dengan rendah hati agar peziarah sudi menginjakkan alas kaki di atas tanah yang telah mereka siapkan—untuk dijadikan cendera mata suci, oleh-oleh cinta bagi Al-Husain.
Singkat kata, dalam kawah candradimuka Ritus Arbain, manusia-manusia biasa menjelma menjadi malaikat-malaikat yang bertulang dan berdaging. Cinta kepada Al-Husain telah melahirkan fenomena moral yang tak terperikan: keramahan massal tanpa batas, toleransi universal yang meruntuhkan sekat, dan cinta murni—tanpa syarat, tanpa pamrih, tanpa “tapi”. Di sini, di tanah di mana debu bercampur air mata dan darah, samudera rindu mengalir deras—menyatu dalam gelombang pengabdian yang menembus zaman, mengukir kesetiaan abadi pada kebenaran.