Di negara-negara “Islami” seperti Finlandia, Denmark dan Swedia pegawai pemerintahan, personil polisi dan tentara selalu hormat kepada warga dan mengalah di ruang publik karena sadar bahwa masyarakat adalah atasan. Tapi di negara-negara Muslim yang mungkin semuanya “tidak islami” pegawai pemerintah tingkat rendah dan prajurit saja berlagak raja mini yang justru dilayani, diutamakan dan ditakuti, apalagi yang berposisi tinggi dan berpangkat tinggi.
Di negeri-negeri yang tak terlalu bising bicara nasionalisme, seperti New Zealand dan Luxemburg, setiap warga asing yang bekeja di sana mendapatkan perlakuan hukum yang adil, apalagi warga negara. Tapi di negara-negara yang setiap pejabatnya fasih bicara nasionalisme, perlakuan hukum dan pelayanan untuk warga dibedakan berdasarkan relasi, posisi dan “apresiasi”.
Perbandingan ini menyingkap pertanyaan kritis yang menggelisahkan: mengapa nilai-nilai “Islami” atau nasionalisme, yang begitu lantang digaungkan dalam retorika, kerap ambruk dalam praktik tata kelola yang adil dan berperikemanusiaan? Karena hilangnya budaya akuntabilitas dan dangkalnya pemahaman bahwa kekuasaan adalah amanah mulia, bukan privilege untuk dieksploitasi.
Negara-negara yang mampu menanamkan ethos pelayanan dalam institusi publik menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur—yang selaras dengan Islam dan mencerminkan nasionalisme sejati—hanya berarti jika diwujudkan melalui komitmen teguh untuk menjadikan rakyat sebagai inti dari setiap kebijakan dan tindakan.