Tempe, sebagai simbol kemandirian pangan, menjadi metafora ironis atas kerentanan ekonomi Indonesia di hadapan kebijakan cukai Donald Trump. Namun, dampak nyata kebijakan ini jauh melampaui simbolisme, merasuk ke dalam sektor-sektor padat karya yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Tarif resiprokal sebesar 32% yang diberlakukan Amerika Serikat pada 2024 telah mengguncang industri tekstil, alas kaki, furnitur, dan agribisnis, dengan konsekuensi yang mengancam stabilitas sosial dan ekonomi rakyat.
Industri tekstil, yang mempekerjakan jutaan orang, menjadi salah satu sektor yang paling terpukul. Tarif 32% menyebabkan harga produk tekstil Indonesia melonjak di pasar AS, mengurangi daya saing dibandingkan produk dari negara seperti Vietnam atau Bangladesh. Ekspor tekstil merosot tajam, dengan perkiraan kerugian mencapai ratusan juta dolar pada 2024. Lebih dari 24.000 pekerja tekstil kehilangan pekerjaan dalam setahun, dan ancaman PHK massal terus membayangi. Penurunan permintaan ekspor memaksa banyak perusahaan kecil dan menengah tutup, memperburuk risiko kemiskinan bagi keluarga pekerja.
Sektor alas kaki, yang mulai menembus pasar global, juga menghadapi tekanan serius. Tarif tinggi membuat produk alas kaki Indonesia kurang kompetitif di pasar AS, salah satu tujuan ekspor utama. Penurunan ekspor di sektor ini diperkirakan mencapai puluhan juta dolar, dengan sekitar 10.000 pekerja terkena PHK pada 2024. Banyak perusahaan alas kaki yang bergantung pada rantai pasok global kesulitan menyerap biaya tambahan, yang pada akhirnya membebani konsumen domestik melalui kenaikan harga atau pengurangan produksi.
Industri furnitur, yang mengandalkan ekspor kayu dan produk olahan, mengalami kemunduran serupa. Tarif AS mengurangi permintaan untuk furnitur Indonesia, terutama di segmen pasar menengah ke bawah yang sensitif terhadap harga. Penurunan ekspor furnitur diperkirakan mencapai 50 juta dolar pada 2024, dengan sekitar 5.000 pekerja kehilangan pekerjaan. Gangguan rantai pasok bahan baku, seperti kayu dan bahan kimia pelapis, turut memperparah tantangan, menghambat potensi pertumbuhan sektor yang sebelumnya dianggap sebagai motor diversifikasi ekspor.
Meskipun tempe digunakan sebagai contoh ironis, sektor agribisnis secara keseluruhan juga merasakan dampak tidak langsung. Indonesia mengimpor sebagian besar kedelai—bahan baku tempe—dari AS. Tekanan ekonomi akibat penurunan ekspor melemahkan nilai tukar rupiah dan daya beli masyarakat, yang dapat meningkatkan harga kedelai di pasar domestik. Hal ini berpotensi menaikkan harga tempe dan produk pangan olahan lainnya, yang menjadi andalan masyarakat berpenghasilan rendah. Komoditas agribisnis lain, seperti kopi dan kakao, yang diekspor ke AS, juga menghadapi penurunan permintaan akibat tarif, memperburuk tekanan pada petani dan pelaku usaha kecil.
Pemerintah Indonesia berupaya meredam krisis melalui negosiasi perdagangan, seperti meningkatkan impor gandum dan kedelai dari AS untuk mendapatkan keringanan tarif, serta mereformasi perpajakan untuk mendukung pelaku usaha. Namun, langkah-langkah ini belum mengatasi akar masalah: ketergantungan pada pasar ekspor AS dan kerentanan rantai pasok global. Ancaman kontraksi ekonomi dan krisis sosial tetap nyata, dengan potensi dampak jangka panjang terhadap daya saing Indonesia.
Paradoks Agustus, ketika Indonesia memperingati kemerdekaan politik, menjadi cermin getir dari kedaulatan ekonomi yang masih rapuh. Tekanan cukai Trump mengungkap bahwa kemandirian sejati terhimpit oleh ketergantungan struktural pada pasar global. Sektor tekstil, alas kaki, furnitur, dan agribisnis, yang menopang kehidupan jutaan rakyat, kini terjepit oleh kebijakan asing. Krisis ini bukan hanya soal angka, tetapi tentang jiwa sebuah bangsa—jiwa yang, seperti tempe, sederhana namun sarat makna, namun kini terancam oleh rantai ketergantungan global yang membelenggu kedaulatannya.