Cafe, dengan aksen é yang menyiratkan keanggunan, adalah lebih dari sekadar tempat menyeruput kopi. Ia adalah oasis urban tempat cerita-cerita kecil kehidupan bermekar: obrolan santai, ide-ide yang mengalir, atau sekadar diam sambil menikmati aroma kopi yang memeluk indera. Namun, di balik sofa empuk dan alunan musik lembut, kafe modern punya sisi satir: pembeli bukan raja, melainkan tamu yang harus mengikuti ritme kafe. Bayar di muka, antri dengan sabar, ambil pesanan sendiri, dan berharap ada meja kosong. Ini adalah tarian kafe kekinian, yang meski kadang bikin dompet merintih, tetap memikat hati.
Kata café berasal dari bahasa Prancis, yang sederhananya berarti kopi. Di Paris zaman modern awal kafe adalah panggung para intelektual. Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean Baudrillard, Jacques Lacan—filsuf-filsuf besar ini menjadikan kafe sebagai laboratorium pemikiran, bukan cuma tempat minum kopi, melainkan arena diskusi tema-tema spektakuler. Kafe Paris adalah cikal bakal Renaisans modern, di mana asap rokok dan cangkir espresso menyaksikan lahirnya ide-ide seperti Postmodernisme, Relasi Kuasa dan Dekonstrusi Wacana dan Cultural Studies yang mengguncang dunia.
Kopi punya kisah yang puitis, dimulai dari Ethiopia abad ke-9. Konon, seorang gembala bernama Kaldi mendapati kambing-kambingnya berjingkrak riang usai memakan buah kopi merah. Dari dataran tinggi Afrika, kopi menyebar ke Arab, lalu merambah dunia melalui jalur perdagangan. Pada abad ke-15, kopi sudah menjadi bagian budaya Eropa, Asia, hingga Amerika. Di Indonesia, kopi tiba bersama Belanda pada 1696, saat biji arabika dari Malabar, India, ditanam di Kedawung, dekat Batavia. Banjir dan gempa menggagalkan usaha awal, tapi pada 1706, kopi Jawa mulai berjaya, diekspor ke Eropa, dan menjadi sumber kekayaan. Hama karat daun pada 1878 nyaris memusnahkan arabika, hingga Belanda beralih ke robusta yang tangguh. Kini, Indonesia adalah raksasa robusta dunia, dengan arabika Gayo dan Toraja sebagai permata yang mendunia.
Kopi bukan sekadar minuman; ia adalah sahabat para tokoh besar. Fidel Castro, pemimpin revolusioner Kuba, menjadikan espresso kental sebagai amunisi untuk hari-hari penuh gejolak. Robert De Niro, aktor legendaris Hollywood, mengaku tak bisa menyelami peran-peran beratnya tanpa kopi hitam. Amitabh Bachchan, ikon Bollywood, tak pernah jauh dari cangkir kopinya, yang setia menemani saat membaca skrip atau syuting hingga larut. Kopi bagi mereka adalah ritme, inspirasi, dan nyala jiwa.
Kopi punya dua aliran, bak mazhab dalam dunia perkopian. Arabika, sang primadona, menawarkan cita rasa lembut, manis, dengan aroma buah dan bunga yang memikat. Tumbuh di dataran tinggi, arabika menguasai 70% pasar dunia, namun rapuh di hadapan hama dan mahal harganya. Robusta, sebaliknya, adalah pejuang tangguh. Dengan rasa pahit yang tegas dan kafein dua kali lipat, robusta cocok untuk kopi kental atau campuran susu. Indonesia, dengan robusta Lampung dan arabika Toraja, menjadi penutur setia kedua mazhab ini.
Di Indonesia, kafe punya cerita yang tak kalah menawan. Jauh sebelum kafe kekinian bermunculan, ada warung kopi atau “warkop”, tempat sederhana yang jadi denyut budaya nongkrong. Sejak era kolonial, warkop menjadi ruang bagi pelajar, buruh, hingga seniman, dengan kopi tubruk dan roti bakar sebagai bintang. Di tahun 1960-an, warkop makin meriah di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, menawarkan kopi murah dan obrolan hangat. Memasuki 1980-an, pengaruh budaya Barat membawa warkop berevolusi menjadi kafe lokal dengan menu seperti spaghetti atau milkshake, tapi tetap dengan jiwa Indonesia: meja plastik, musik dangdut, dan harga yang bersahabat.
Era 2000-an membawa gelombang baru. Kedatangan jaringan kafe internasional seperti Starbucks memicu kafe lokal untuk tampil lebih modern. Mereka mengadopsi estetika Instagramable—dinding mural, lampu gantung, sudut foto—tapi tetap setia pada kopi lokal, seperti robusta Jawa atau arabika Bali.
Menu kreatif bermunculan, dari “Kopi Jomblo” hingga “Latte Nusantara”, dengan harga yang tak bikin jantungan. Kafe lokal adalah perpaduan manis antara global dan lokal, tempat budaya dunia bertemu cita rasa tanah air.
Kafe modern adalah panggung kelas menengah ke atas. Di sini, kamu bukan pelanggan istimewa, melainkan peserta dalam ritus urban. Bayar di depan, antri, ambil pesanan, dan berdoa ada meja kosong. Pengunjungnya adalah profesional muda yang sibuk meeting, ibu-ibu modis dengan hijab trendy yang asyik mengobrol, atau pebisnis freelance yang memamerkan laptop terbaru. Orang tua, kecuali yang berpenampilan klimis, seolah tak punya tempat di sini.
Bersiaplah menghadapi “intimidasi halus”. Pelayan yang (wajib) menawan akan menawarkan tambahan seperti caramel drizzle atau whipped cream vanilla infusion dengan nama-nama asing yang membuatmu merasa kecil. Bila mengangguk, takut dicap kuno, dompet pasti merintih. Saat angka di mesin kasir muncul, jantungan kecil tak terhindarkan. Glek! Pelayan lalu bertanya, “Atas nama siapa?” Namamu ditulis di gelas kertas berlogo, semacam hadiah hiburan untuk meredam syok harga.
Namun, kini kafe tak lagi eksklusif untuk yang berdompet tebal. Kafe lokal kini merangkul semua kalangan, menawarkan latte atau croissant versi KW dengan harga yang ramah. Ini adalah budaya global ala kadarnya, di mana robusta lokal disulap jadi espresso dan roti bakar disajikan sebagai artisan toast.
Saya punya dua cafe favorit, Uno-Uno dan Alana. Yang pertana adalah nama yang terinspirasi dari bahasa Italia atau Spanyol yang berarti “satu-satu”, mengingatkan pada permainan kartu UNO yang diciptakan Merle Robbins di Ohio pada 1971. Nama ini membawa nuansa keceriaan, seperti tumpukan kartu warna-warni yang mengundang tawa dan strategi. Di Uno-Uno, suasananya hangat, meja kayunya mengundang untuk mengetik berjam-jam, dan kopinya—mungkin arabika lokal—selalu pas di lidah, seperti sahabat yang tak banyak bicara tapi selalu hadir.
Alana, di sisi lain, membawa pesona yang lebih lembut. Nama ini, yang dalam bahasa Irlandia berarti “harmoni” atau “kedamaian”, terasa seperti pelukan lembut di tengah hiruk-pikuk kota. Dengan aroma robusta yang kuat dan sudut-sudut Instagramable, Alana adalah tempat di mana ide-ide mengalir seiring denting cangkir.
Uno-uno menyajikan aneka kopi dan makanan berat multi-kultur dengan cita rasa tak terucapkan. Sedangkan Alana memadukan aneka kopi dengan senarai cake dan roti yang terlalu megah untuk dideskripsikan.
Di kedua tempat ini, kopi adalah lebih dari minuman—ia adalah puisi, mengalir dari kambing-kambing Kaldi hingga cangkir-cangkir yang menemani Castro, De Niro, atau Bachchan. Di antara denting cangkir dan aroma kopi, kafe lokal menjadi kanvas tempat sejarah, budaya, dan mimpi bertemu, dalam setiap teguk yang hangat maupun dingin.